Hakikat Puasa dalam Pandangan Tasawuf
Dokumen Pribadi A. Faiz Yunus
AFAIZYUNUS.COM, Jakarta-Puasa secara
awam dapat diartikan sebagai larangan, yakni larangan untuk makan, minum dan
bersetubuh, dimulai sejak masuknya waktu subuh hingga terbenamnya matahari (masuknya
waktu maghrib). Namun juga diartikan sebagai anjuran dan kewajiban di bulan Ramadhan
dengan memperbanyak Amaliah ibadah kita kepada Allah SWT dan juga menjauhi segala
larangannya sebagaimana yang allah firmankan dalam surah al-baqarah [2]: 183.
Pengertian puasa
tidak berhenti disitu saja, secara sosial bahwa puasa tidak hanya menahan lapar
dan dahaga, memperbanyak amal ibadah kepada Allah SWT saja, namun puasa juga
mejadi sebuah balai sosial antar sesama bahkan tidak hanya antar muslim saja
melainkan kepada seluruh makhluk yang ada dialam semesta ini.
Puasa Juga
merupakan alat penguji ketakwaan kita kepada Allah SWT. dengan berpuasa manusia
diperintahkan oleh Allah SWT untuk menahan dari hawa nafsu dan segala bentuk
perkara yang membatalkan puasa sebagaimana disebutkan sebelumnya untuk menahan dari sesuatu yang
sebelumnya boleh menjadi tidak boleh, seperti makan-makanan yang halal,
berhubungan suami istri dst. Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam surah
an-Nazi’at [79]: 40-41, bahwa orang-orang yang takut pada kebesaran Tuhannya
dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah
tempat tinggalnya.
Silahkan Kunjungi web link www.cholilnafis.com
Lebih dalam lagi
puasa yang di artikan oleh para ulama sufi dalam
kitab Sirr al-Asraar, Syekh Abdul Qadir al-Jailani menjelaskan, bahwa puasa di
bagi menjadi 3 (tiga) tingkatan.
Pertama, adalah puasa yang hanya mendapatkan dua kenikmatan, yakni
kenimkatan saat ia berbuka puasa dan kenikmatan melihat. Yang dimaksud melihat
oleh syekh Abdul Qadir al-Jailani adalah ketika manusia berpuasa dan mereka
merasa senang gembira ketika melihat tanda-tanda bulan Syawal (Lebaran). Hal ini
merupakan gambaran puasa secara syariat.
Kedua, adalah puasanya orang-orang ‘arif yang lebih mengutamakan
maksud batiniyah puasa, yakni puasa ruhani. Maka dua kenikmatan ini akan
dia dapatkan ketika ia memasuki surga dan menikmati segala macam, bentuk yang
ada dialamnya. Kenikmatan kedua ketika ia dapat melihat Allah SWT. dengan mata hatinya (basyirah). Abu
Nashr as-Sarraj dalam kitabnya al-Luma’ yang juga diungkapkan oleh imam
al-Junayd al-Baghdadi menjelaskan, tersingkapnya penghalang basyirah
(mata hati) nya untuk bertemu dan melihat Allah SWT sebab keistiqimahan dan
kesungguhan niat, ketulusan seorang hamba dalam menjalani dan mematuhi segala
sesuatu yang menjadi perintah dan larangan Allah SWT.
Ketiga, adalah puasa karena niat yang sejati dari keintiman hubungan ia
kepada Allah dengan tidak menghiraukan kepada selain Allah SWT (ghairullah),
bahkan ia tidak mengharapkan apapun dari apa yang ia kerjakan selain Allah SWT.
dan tidak terbatas waktu. mereka berpuasa beribadah sebagaimana orang beribadah
pada umumnya dengan tidak meninggalkan rukun Islam dan Iman sebagai pondasi
awal mereka menuju ghairullah. Puasa inilah yang disebut sebagai puasa
hakikat yang hanya akan bisa dilaksanakan apabila hati, pikiran seorang hamba
jernih, niat yang tulus dan tidak bercampur dengan niat selain Allah SWT. sebagaimana
firmanNya dalan surah Fushshilat [41]: 6,
أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ
“… Bahwasanya
Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Esa, maka luruskanlah dirimu kepada-Nya…”
Maka dari ayat ini Syekh Abdul Qadir al-Jailani menjelaskan, tidak ada yang patut disembah, dipuja, diagunggan dan dituju melainkan hanya kepada Allah SWT. oleh karenanya apabila ada dalam hatinya masuk setitik dzarrah perasaan hamba kepada Ghairullah, maka batallah puasa hakiki tersebut.
Dari uraian diatas dapat kita ambil kesimpulan, bahwa pelaksanaan puasa terbagi menjadi tiga bentuk dan makna. Yakni puasa jasad, puasa ruhani dan puasa hakikat. Puasa jasad belum tentu puasa ruhani namun puasa ruhani pasti jasad berpuasa, sementara puasa hakikat adalah puasa bentuk keistiqomahan dan ketulusan niat sehingga memalinggkan dirinya dari segala sesuatu yang ghoirullah dan tidak mengharapkan apapun kecuali Allah SWT. Sebagaiman Allah firmankan dalam hadist QudsiNya ‘Hamba-Ku telah berpuasa karena Aku, maka Aku sendiri yang akan memberikan ganjarannya’. Namun Rasulullah saw mengingatkan kepada manusia jangan sampai berpuasa hanya mendapatkan dahaga dan lapar sebagaimana dalam HR. Ath Thobroniy dalam Al Kabir dan sanadnya tidak mengapa. Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 1084, bahwa,
رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ
وَالعَطَشُ
“Betapa banyak
orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali
rasa lapar dan dahaga.”
Semoga kita
termasuk orang-orang yang lurus niatnya melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan
ini karena Allah SWT. serta kita dapat melanjutkan pembiasaan pada bulan ramadhan
ini di bulan-bulan berikutnya.
ﻳَﺎ ﻣُﻘَﻠِّﺐَ ﺍﻟْﻘُﻠُﻮﺏِ ﺛَﺒِّﺖْ ﻗَﻠْﺒِﻰ ﻋَﻠَﻰ ﺩِﻳﻨِﻚَ
"Wahai Dzat yang Maha membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati kami di atas agamaMu"
oleh:
A. Faiz Yunus, M.Si
(Alumni Sekolah kajian Stratejik dan Global, Pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonsia)
Comments
Post a Comment